Tanah Ulayat Lampung: Hak yang Terlupakan di Bumi Ruwa Jurai
OPINISEJARAH


Pengantar: Dari Etika ke Akar Sejarah
Dalam tulisan sebelumnya, Etika Pendatang di Bumi Lampung: Belajar dari Kearifan Lokal dan Nilai Piil Pesenggiri, kita membahas pentingnya memahami budaya dan etika sosial di tanah Lampung.
Namun menghormati bumi tempat kita berpijak tak cukup hanya dengan sikap — ia juga perlu pemahaman terhadap sejarah tanah dan hak masyarakat yang lebih dulu menjaganya.
Di balik keramahan dan keberagaman Lampung hari ini, ada cerita panjang tentang tanah ulayat — tanah warisan leluhur yang dahulu menjadi penopang kehidupan adat, namun kini banyak yang beralih tangan, berstatus negara, bahkan dikuasai oleh korporasi.
Tanah Ulayat: Lebih dari Sekadar Lahan
Bagi masyarakat adat Lampung, tanah bukan sekadar lahan ekonomi. Ia adalah ruang hidup spiritual, tempat sejarah dan identitas disemai.
Sistem tanah ulayat dalam adat Lampung mengandung makna sosial yang dalam — tanah dimiliki bersama oleh marga atau suku, dijaga secara turun-temurun, dan dikelola dengan prinsip sakai sambayan (gotong royong).
Sebelum masa kolonial, hampir seluruh wilayah Lampung berstatus tanah adat. Batas wilayah ditentukan oleh kesepakatan antar-marga, bukan oleh sertifikat formal.
Namun sistem ini mulai berubah ketika kekuasaan kolonial Belanda masuk membawa konsep hak eigendom (hak milik individual) dan kemudian tanah negara.
Foto: Mbah Kartoredjo, Kepala Desa Bagelen, Pesawaran. Lampung (1907-1912), dkk - kolonisasi pertama di era kolonial . Sumber: kissparry.com


Dari Kolonisasi ke Transmigrasi: Awal Pergeseran
Perubahan besar dimulai pada awal abad ke-20 melalui kebijakan kolonisatie, di mana pemerintah Belanda memindahkan warga Jawa ke Lampung untuk mengatasi kepadatan penduduk di Jawa dan membuka lahan pertanian baru.
Setelah kemerdekaan, program ini dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia melalui Transmigrasi Nasional yang dimulai 1950-an dan mencapai puncak pada masa Orde Baru (1970–1990-an).
Menurut data Museum Transmigrasi Lampung (2023), lebih dari 1,2 juta jiwa transmigran ditempatkan di Lampung dalam kurun waktu empat dekade. Program ini berhasil memperluas area pertanian dan meningkatkan ekonomi nasional, namun juga membawa dampak sosial yang kompleks.
Bagi masyarakat adat, tanah yang dulu mereka jaga mulai berubah status menjadi tanah negara. Banyak kawasan adat diubah menjadi unit permukiman transmigrasi tanpa proses konsultasi adat.
Secara perlahan, masyarakat adat kehilangan ruang hidup dan akses terhadap tanah yang menjadi bagian dari identitas mereka.
Peta Provinsi Lampung


Ketika Tanah Kehilangan Cerita
Hilangnya tanah ulayat bukan hanya soal kehilangan lahan, tetapi juga kehilangan sejarah dan kebanggaan.
Di beberapa kampung, generasi muda Lampung kini tidak lagi tahu batas ulayat marganya, karena wilayah itu telah berubah menjadi perkebunan, pemukiman, atau area industri.
Kondisi ini diperparah oleh kebijakan yang seringkali tidak sensitif terhadap kearifan lokal.
Penelitian dari Jurnal Hukum Universitas Lampung (2021) menyebutkan bahwa peraturan agraria nasional belum sepenuhnya mengakomodasi sistem kepemilikan adat Lampung, sehingga banyak klaim ulayat yang tidak diakui secara hukum.
Dampaknya, masyarakat adat berada dalam posisi sulit: di tanah sendiri, mereka dianggap “pendatang” oleh sistem hukum modern.
Konflik dan Luka Sosial
Lampung telah berulang kali menjadi saksi konflik agraria akibat tumpang tindih lahan antara masyarakat adat, transmigran, dan korporasi.
Salah satu kasus paling dikenal adalah Tragedi Mesuji (2011) di kawasan Register 45. Konflik itu melibatkan masyarakat lokal, petani pendatang, dan perusahaan perkebunan.
Menurut laporan Komnas HAM (2012), bentrokan tersebut menewaskan beberapa orang dan memaksa ratusan keluarga mengungsi.
Kasus serupa terjadi di beberapa wilayah lain seperti:
Tulang Bawang Barat (2016) – sengketa antara masyarakat adat Buay Aji dan perusahaan perkebunan sawit.
Way Kanan (2018) – konflik batas wilayah ulayat dengan HGU perusahaan kayu.
Lampung Timur (2020) – masyarakat adat menolak ekspansi perkebunan tebu di wilayah adat mereka.
Semua kasus ini menunjukkan satu hal: tanah bukan sekadar aset, melainkan sumber martabat dan identitas.
Aksi masyarakat adat menuntut hak Tanah Ulayat. Sumber: antaranews.com (2018)


Antara Hukum dan Keadilan
Secara konstitusional, hak masyarakat adat sebenarnya diakui.
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya, selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun implementasinya masih jauh dari harapan.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 memang menyebutkan tanah ulayat, tetapi tidak memberi mekanisme yang jelas untuk pengakuan formal.
Akibatnya, banyak tanah adat dianggap “tanah negara” karena tidak memiliki sertifikat formal — padahal secara adat, tanah itu sudah dikelola turun-temurun.
Hingga kini, Lampung belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) khusus tentang pengakuan tanah ulayat, meskipun beberapa marga adat sudah berusaha memperjuangkannya.
Ketiadaan dasar hukum daerah membuat masyarakat adat kerap kalah dalam sengketa hukum melawan korporasi atau pengembang.
Suara dari Tanah yang Sunyi
Di berbagai wilayah Lampung, muncul gerakan kecil yang berusaha mengembalikan kesadaran akan tanah adat.
Beberapa komunitas adat mulai memetakan kembali wilayah ulayat mereka, mendokumentasikan sejarah marga, dan membangun dialog dengan pemerintah daerah.
Mereka tidak menolak pembangunan, tetapi ingin dilibatkan secara adil.
Salah satu tokoh adat di Lampung Tengah pernah berkata dalam forum budaya (2023):
“Kami tidak menolak kemajuan. Kami hanya ingin ikut menulis masa depan di tanah yang diwariskan nenek moyang kami.”
Pernyataan itu menggambarkan inti persoalan: masyarakat adat tidak anti pembangunan, mereka hanya ingin dihormati dan diakui.
Refleksi: Mengembalikan Martabat Tanah dan Budaya
Tanah ulayat bukan hanya soal hak kepemilikan, melainkan juga soal penghormatan terhadap sejarah dan identitas.
Ketika tanah diubah menjadi sekadar aset ekonomi, maka manusia kehilangan akar kemanusiaannya.
Kita perlu belajar dari sejarah Lampung: bagaimana keterbukaan orang Lampung di masa lalu semestinya dibalas dengan penghargaan atas hak-hak mereka di masa kini.
Karena harmoni sejati lahir dari keadilan, bukan dari diamnya yang terpinggirkan.
Bagi pendatang, memahami sejarah tanah tempat kita hidup bukan beban, tetapi bentuk rasa hormat.
Dan bagi masyarakat adat, perjuangan menjaga tanah ulayat seharusnya dilakukan dengan kebijaksanaan, bukan kemarahan — agar nilai luhur piil pesenggiri tetap menjadi cahaya, bukan bara.
Menatap Langit, Menjaga Tanah
Lampung adalah rumah bagi semua, tapi rumah itu berdiri di atas fondasi adat dan sejarah.
Mengakui tanah ulayat berarti mengakui akar yang menumbuhkan keberagaman.
Negara dan masyarakat perlu berjalan beriringan, agar pembangunan tidak melupakan keadilan sosial.
Karena tanah tidak hanya menyimpan mineral dan hasil bumi — ia menyimpan cerita tentang siapa kita dan bagaimana kita memperlakukan satu sama lain


Referensi:
Museum Transmigrasi Lampung (2023) – Sejarah Transmigrasi di Indonesia.
Komnas HAM (2012) – Laporan Penyelidikan Kasus Mesuji.
Jurnal Hukum Universitas Lampung (2021) – Analisis Status Tanah Ulayat di Provinsi Lampung.
Jurnal Agraria Indonesia (2020) – Transmigrasi dan Konflik Agraria di Sumatera Selatan dan Lampung.
Jurnal Sosiohumaniora (2022) – Dinamika Hak Adat dalam Pembangunan Daerah.
Forum Budaya Lampung (2023) – Catatan Dialog Tokoh Adat tentang Tanah Ulayat.
🔗 Artikel Terkait:
Baca juga tulisan pendamping artikel ini:
Etika Pendatang di Bumi Lampung: Belajar dari Kearifan Lokal dan Nilai Piil Pesenggiri
— sebuah refleksi tentang pentingnya memahami budaya tempat kita berpijak.
