Etika Pendatang di Bumi Lampung: Belajar dari Kearifan Lokal dan Nilai Piil Pesenggiri

BUDAYAOPINI

Novita Ria

10/22/20253 min read

Rumah adat Lampung
Rumah adat Lampung

Bumi yang Dihuni Banyak Langkah

Lampung dikenal sebagai tanah yang ramah dan subur, tempat bersemainya banyak budaya. Dari pesisir hingga perbukitan, orang hidup berdampingan dalam keberagaman adat dan keyakinan.
Julukan Sai Bumi Ruwa Jurai — bumi dua unsur, dua budaya — mencerminkan perpaduan antara masyarakat adat Lampung dan para pendatang dari berbagai daerah.

Gelombang besar kedatangan penduduk ke Lampung dimulai sejak masa kolonial Belanda dan berlanjut dengan program transmigrasi nasional pascakemerdekaan.
Menurut data Museum Transmigrasi Lampung (2023), provinsi ini menjadi penerima transmigran terbesar di Indonesia sejak 1950-an. Ribuan keluarga dari Jawa, Bali, Sunda, dan Bugis membangun kehidupan baru di sini.

Pada awalnya, masyarakat adat Lampung menyambut mereka dengan tangan terbuka. Namun waktu berjalan, dan perubahan sosial-ekonomi membuat posisi masyarakat adat kian terpinggirkan.
Kini, di sejumlah wilayah, masyarakat Lampung justru menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri — kehilangan ruang budaya, bahkan tanah adat yang dahulu diwariskan secara turun-temurun.

Pepatah Nusantara yang Mulai Terlupa

Bangsa ini memiliki pepatah luhur:

“Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”

Nilai itu hidup di seluruh nusantara, dan di Lampung ia sejiwa dengan falsafah Piil Pesenggiri — sikap menjaga kehormatan diri dan orang lain dengan keluhuran budi.
Sayangnya, di tengah arus perubahan, nilai-nilai luhur itu mulai luntur.

Sebagian pendatang — tentu tidak semuanya — tanpa sadar melupakan adab untuk menghargai budaya setempat.
Masih sering terdengar ungkapan yang menyinggung atau candaan bernada merendahkan masyarakat adat, seolah mereka “berbeda” atau “terbelakang”.
Padahal, tanpa memahami akar budaya tempat kita hidup, kita kehilangan arah untuk menghargai sesama.

Namun keadilan menuntut kita jujur melihat dua sisi. Sebagian orang Lampung sendiri juga ada yang salah menafsirkan makna piil pesenggiri — menjadikannya alasan untuk mempertahankan harga diri dengan cara yang keras, bahkan kadang menghalalkan sikap arogan.
Padahal sejatinya, piil pesenggiri bukan tentang gengsi, melainkan tentang martabat dan tanggung jawab moral. Ia bukan senjata untuk meninggikan diri, tapi cermin untuk memperbaiki diri.

Piil Pesenggiri: Dari Harga Diri Menuju Hormat Diri

Nilai piil pesenggiri mengajarkan keseimbangan antara harga diri dan hormat pada orang lain. Di dalamnya terkandung empat prinsip utama:

  1. Juluk adok – menjaga nama baik dan kehormatan.

  2. Nemui nyimah – keramahan dan keterbukaan terhadap tamu.

  3. Nengah nyappur – keterlibatan aktif dalam kehidupan sosial.

  4. Sakai sambayan – tolong-menolong dalam kebaikan.

Jika dipahami dengan benar, nilai ini bukan sumber konflik, tapi jembatan antarbudaya. Ia mengingatkan kita bahwa kehormatan sejati lahir dari sikap saling menghargai.

Sayangnya, modernitas dan tekanan ekonomi membuat nilai-nilai ini sering diabaikan. Sebagian masyarakat sibuk mempertebal identitas, sementara lupa memperdalam empati.
Padahal, baik pendatang maupun masyarakat adat, semuanya membutuhkan hal yang sama: pengakuan, rasa aman, dan penghormatan.

Belajar dari Luka yang Pernah Ada

Lampung memiliki sejarah panjang tentang bagaimana salah paham dapat berubah menjadi luka sosial.
Peristiwa Balinuraga (2012) di Lampung Selatan menjadi pengingat penting. Menurut laporan Kompas dan penelitian Universitas Lampung, konflik itu bermula dari kesalahpahaman kecil antarwarga muda yang meluas menjadi bentrokan antaretnik.
Puluhan orang terluka, ribuan mengungsi.

Namun dari tragedi itu, muncul kesadaran baru. Tokoh-tokoh adat, pemuda, dan tokoh agama dari berbagai latar belakang bekerja sama membangun kembali jembatan sosial.
Mereka menyadari, menyalahkan suku tidak akan pernah membawa solusi — karena setiap suku, setiap daerah, pasti punya oknum dan juga orang-orang baik yang menjaga nilai kemanusiaan

Menjadi Bagian dari Bumi, Bukan Sekadar Penghuni

Kita semua, baik yang datang dari luar maupun yang lahir dari adat Lampung, kini adalah bagian dari bumi yang sama.
Menjadi bagian berarti ikut menjaga, menghormati, dan memahami budaya setempat, bukan sekadar menempati ruangnya.

Sebagian kecil dari kita mungkin masih melihat adat sebagai hal yang kini tak lagi relevan dengan zaman.  padahal di dalamnya tersimpan kearifan yang sejalan dengan ajaran agama dan moral universal: menghormati sesama, menjaga alam, dan berlaku adil.

Menghargai budaya lokal bukan berarti menolak perubahan, tetapi memastikan perubahan tidak mencabut akar kemanusiaan.
Karena tanpa akar, kita hanyalah pohon yang mudah tumbang di tengah badai zaman.

Menjunjung Langit yang Sama

Lampung hari ini adalah cermin Indonesia kecil: beragam, dinamis, dan penuh tantangan sosial.
Kita bisa berbeda suku, tapi tetap bisa menatap langit yang sama dengan rasa hormat.

Menghormati masyarakat adat Lampung bukanlah bentuk keberpihakan pada satu kelompok, tetapi penghargaan terhadap prinsip keadilan — bahwa setiap budaya layak dihormati di tanahnya sendiri.

Pepatah nusantara kembali mengingatkan kita:

“Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”

Mari junjung langit Lampung bersama, agar bumi tempat kita berpijak tetap teduh bagi semua.

Referensi:

  1. Museum Transmigrasi Lampung (2023) – Sejarah Program Transmigrasi di Indonesia.

  2. Kompas (29 Oktober 2012) – “Bentrok Balinuraga, Puluhan Luka, Ribuan Mengungsi.”

  3. Jurnal Universitas Airlangga (2021) – Muakhi Culture as Ethnic Conflict Management in Lampung.

  4. Jurnal Universitas Sebelas Maret (2020) – Ketegangan Sosial Akibat Program Transmigrasi di Lampung Era 1950-an.

  5. Jurnal Kemendagri (2022) – Pemetaan Daerah Rawan Konflik di Provinsi Lampung.

  6. A. Wibowo (2023) – Piil Pesenggiri dalam Dinamika Sosial Masyarakat Lampung Modern.

Artikel Terkait:

Untuk memahami sisi sejarah dan hak atas tanah adat yang menjadi bagian dari jati diri masyarakat Lampung, baca lanjutan tulisan ini:
Tanah Ulayat Lampung: Hak yang Terlupakan di Bumi Ruwa Jurai

Related Stories