Lebih dari Seremonial: Mighrul Lampung Bersatu dan Langkah Baru Menghidupkan Budaya

KOMUNITASBERITABUDAYA

Novita Ria (Redaksi Tapislampung.com)

10/27/20252 min read

Di tengah derasnya arus modernisasi, menjaga budaya tidak cukup dengan baju adat dan panggung upacara.
Yang lebih penting adalah menumbuhkan kesadaran — bahwa adat bukan sekadar seremoni, melainkan napas yang menuntun cara kita berpikir, bersikap, dan hidup bersama.

Itulah pesan yang terasa kuat dari kegiatan Mighrul Lampung Bersatu (MLB) pada Minggu, 26 Oktober 2025, saat menggelar Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) di Hotel Akar, Bandar Lampung.
Kegiatan yang dihadiri pengurus dari 15 kabupaten/kota se-Lampung ini bukan hanya ajang menyusun program kerja, tapi juga momentum untuk bertanya: ke mana arah gerakan budaya ini akan dibawa?

Menjaga Adat Bukan Hanya Menjaga Bentuk, Tapi Menjaga Makna

Dua tahun perjalanan MLB telah menegaskan satu hal: pelestarian adat tidak bisa berhenti pada simbol.
Baju adat, gelar, dan upacara memang penting, tapi tanpa nilai yang hidup di keseharian, semua itu mudah menjadi formalitas.

Rakorda kali ini menjadi ajang untuk merefleksikan hal itu.
Bahwa menjaga budaya berarti menanamkan piil pesenggiri dalam perilaku, bukan hanya di spanduk dan pidato.
Bahwa “beradat” bukan soal tampilan, tapi soal bagaimana kita memperlakukan sesama dengan hormat dan tanggung jawab.

Bandar Lampung, Role Model dengan Tantangan Urban

Dari forum Rakorda, MLB Kota Bandar Lampung tampil membawa semangat baru.
Ketua-nya, Mas Ariona, Glr St Ibu, menyampaikan rencana kerja yang menekankan pentingnya menghadirkan budaya dalam kehidupan masyarakat kota — di sekolah, di komunitas, di ruang digital.

Bandar Lampung dijadikan role model bukan karena seremoninya paling megah,
tetapi karena di kota inilah tantangan terbesar pelestarian budaya benar-benar terasa.
Kehidupan yang serba cepat dan individualistis membuat nilai adat harus menemukan bentuk baru untuk tetap relevan.

Cakak Nuwo dan Lagu “Langkah Ku”: Simbol yang Menyentuh

Usai Rakorda, sore harinya MLB meresmikan Sekretariat DPP di Jl. Way Kanan, Pahoman, dalam acara “Cakak Nuwo” — sebuah ungkapan adat yang melambangkan naiknya tangga rumah, tanda kedewasaan dan tanggung jawab baru.

Di acara itu pula, diluncurkan lagu berjudul “Langkah Ku”, ciptaan Ida Giriz (Gelar Merintah Migo).
Lagu ini bukan hanya hiburan, tapi catatan perjalanan dua tahun MLB: jatuh, bangun, dan bertahan dalam semangat kebersamaan.
Ia mengingatkan bahwa setiap langkah organisasi budaya seharusnya meninggalkan jejak nilai, bukan sekadar jejak acara.

Budaya Harus Hidup, Bukan Dipertontonkan

Banyak kegiatan budaya diadakan dengan semangat baik, tapi berhenti di panggung — tidak meninggalkan kesan, apalagi perubahan.
Di sinilah pentingnya refleksi: bagaimana agar kegiatan budaya menjadi ruang belajar dan penguatan nilai, bukan sekadar formalitas rutin.

Mighrul Lampung Bersatu punya potensi besar untuk menjadi gerakan yang menembus batas seremonial itu.
Dengan jaringan hingga ke kabupaten/kota, MLB bisa menghadirkan budaya dalam praktik sehari-hari — dalam cara berorganisasi, berkomunikasi, dan berkontribusi.

Harapan: Langkah yang Benar-Benar Melangkah

Perjalanan MLB baru dimulai. Dua tahun bukan akhir, melainkan awal untuk memaknai kembali apa arti beradat di era digital.
Jika langkah ke depan diiringi dengan kesadaran dan ketulusan, maka Lampung tidak hanya akan dikenal karena upacaranya, tetapi karena nilai-nilai luhur yang tetap hidup di tengah warganya.

Seperti bait dalam lagu “Langkah Ku”
setiap langkah kecil akan berarti, jika dilakukan dengan hati.
Dan mungkin, di sanalah budaya sesungguhnya hidup: bukan di panggung, tapi di langkah-langkah kecil yang kita ambil setiap hari.

Related Stories